KPK Jangan Tebang Pilih: Berani Tangkap Bupati, Harus Berani Sentuh Menteri

Ilustrasi.

Oleh: Imun Beton
Masyarakat Sipil dan Pemerhati Demokrasi

OPERASI Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Bekasi kembali mengguncang ruang publik. Seperti pola yang sudah berulang, kepala daerah kembali menjadi sasaran. Bupati ditangkap, ruang kerja disegel, uang diamankan, lalu konferensi pers digelar dengan bahasa normatif yang terdengar rapi dan meyakinkan.

Namun di balik itu, ada suara lain yang tak bisa lagi dibungkam: kekecewaan masyarakat.
Pertanyaan sederhana tetapi mendasar kembali mengemuka: mengapa KPK begitu sigap menangkap bupati dan wali kota, tetapi tampak ragu ketika berhadapan dengan menteri atau mantan menteri?

Sebagai warga negara, saya tidak menolak OTT. Bahkan mendukung penuh. Tetapi dukungan itu bersyarat: penegakan hukum harus adil dan konsisten, tanpa pandang jabatan dan kekuasaan. Di sinilah KPK mulai diuji, bukan oleh koruptor, tetapi oleh ekspektasi publik yang semakin kritis.

Fakta yang tak terbantahkan, banyak menteri dan eks menteri telah diperiksa dalam berbagai perkara besar. Nama-nama mereka beredar di ruang sidang, disebut dalam dakwaan, bahkan dikaitkan dengan proyek bernilai triliunan rupiah. Namun anehnya, proses itu seperti berhenti di pintu gerbang kekuasaan. Bertahun-tahun “pendalaman”, tanpa ujung penindakan.

Sebaliknya, di daerah, proses hukum terasa jauh lebih cepat dan tegas. OTT dilakukan dini hari, kepala daerah langsung dibawa, ruang kerja disegel, dan status hukum segera diumumkan. Kontras ini menciptakan kesan kuat di masyarakat: KPK berani ke bawah, tetapi berhitung ke atas.

Jika kesan ini terus dibiarkan, maka yang rusak bukan hanya citra KPK, melainkan kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri.

Korupsi sejatinya bukan sekadar soal amplop atau suap kecil. Korupsi terbesar justru lahir dari kebijakan nasional, proyek strategis, dan pengelolaan anggaran negara. Semua itu berada di tangan para menteri. Ketika KPK tidak menyentuh level ini secara serius, maka OTT kepala daerah hanyalah seperti membersihkan debu, sementara bangunan utamanya tetap rapuh dan busuk di dalam.

Lebih berbahaya lagi, praktik “tebang pilih”, baik disengaja maupun tidak – akan melahirkan preseden buruk. Kepala daerah merasa menjadi tumbal, sementara elite pusat merasa aman. Ini menciptakan ketimpangan rasa keadilan dan memperkuat anggapan bahwa hukum hanya tajam bagi yang kekuasaannya terbatas.

KPK sering menyatakan bekerja berdasarkan alat bukti, bukan tekanan opini publik. Pernyataan itu benar secara hukum. Namun KPK juga lahir dari kehendak rakyat, bukan semata produk undang-undang. Ketika suara publik semakin nyaring menuntut keadilan yang setara, KPK seharusnya mendengarkan, bukan bersembunyi di balik prosedur.

Masyarakat tidak menuntut sensasi. Tidak juga meminta KPK bertindak serampangan. Yang kami minta sederhana: keberanian yang sama. Jika bupati bisa ditangkap, menteri pun harus siap menghadapi risiko yang identik. Jika kantor bupati bisa disegel, maka tak boleh ada ruang kekuasaan yang kebal hukum.

Hari ini, KPK berada di persimpangan sejarah. Apakah ia masih menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi di semua level? Atau perlahan berubah menjadi institusi yang hanya efektif ketika berhadapan dengan kekuasaan kelas menengah ke bawah?

Sebagai masyarakat sipil, kami menunggu jawaban itu bukan dalam bentuk konferensi pers atau jargon integritas, melainkan dalam tindakan nyata.
Karena pada akhirnya, keadilan yang takut pada kekuasaan bukanlah keadilan, melainkan kompromi.

Dan kompromi, dalam pemberantasan korupsi, adalah bentuk kekalahan paling berbahaya.

KabarGEMPAR.com | Tegas Lugas Objektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *