KPK Tegaskan Pokir Bukan Alat Dagang Proyek, DPRD Diingatkan Patuh UU Antikorupsi dan Aturan Penganggaran
JAKARTA | KabarGEMPAR.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengingatkan seluruh anggota DPRD di Indonesia agar tidak menyalahgunakan pokok-pokok pikiran (pokir) dalam proses perencanaan dan penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Peringatan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan Korupsi Terkait Proses Perencanaan dan Penganggaran APBD Tahun Anggaran 2025 serta APBD Perubahan Tahun Anggaran 2024. Edaran ini ditujukan kepada seluruh gubernur, bupati, wali kota, serta pimpinan DPRD provinsi, kabupaten, dan kota se-Indonesia.
Dalam surat edaran tersebut, KPK menegaskan bahwa pengaturan ini merujuk langsung pada ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, khususnya Pasal 6 huruf a, b, dan c, yang menegaskan tugas KPK dalam melakukan pencegahan, koordinasi, dan monitoring agar tidak terjadi tindak pidana korupsi.
Selain itu, KPK juga mengingatkan bahwa praktik penyalahgunaan pokir berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, khususnya terkait perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, penyalahgunaan kewenangan, serta penerimaan gratifikasi dan suap.
KPK menegaskan, pokir sejatinya merupakan instrumen demokrasi untuk menjaring aspirasi masyarakat melalui masa reses anggota DPRD. Namun dalam praktiknya, mekanisme tersebut kerap diselewengkan menjadi alat transaksi politik, sarana bagi-bagi proyek, hingga modus memperkaya diri sendiri yang dibungkus prosedur resmi penganggaran.
Dalam surat edaran tersebut, KPK juga menautkan mekanisme pokir dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa DPRD memiliki fungsi pembentukan peraturan daerah, penganggaran, dan pengawasan, namun tidak memiliki kewenangan dalam pelaksanaan teknis proyek.
Lebih lanjut, seluruh proses perencanaan dan penganggaran APBD wajib mengacu pada sistem perencanaan pembangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, termasuk keterkaitan antara Musrenbang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
KPK juga menegaskan bahwa seluruh tahapan perencanaan, penganggaran, penatausahaan, hingga pelaporan APBD harus terdokumentasi dalam Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD-RI) sesuai ketentuan Kementerian Dalam Negeri, sebagai instrumen transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah.
Dalam konteks pidana, KPK mengingatkan bahwa permintaan komisi, fee, atau imbalan atas usulan pokir dapat dikategorikan sebagai suap, gratifikasi, atau pemerasan, yang ancaman hukumannya diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan antikorupsi.
KPK menyatakan akan melakukan pemantauan langsung terhadap proses perencanaan dan penganggaran APBD TA 2025 serta APBD Perubahan TA 2024. Apabila ditemukan pelanggaran, KPK menegaskan siap mengambil langkah hukum sesuai kewenangan yang dimiliki.
Surat edaran tersebut ditetapkan di Jakarta pada 29 Februari 2024 dan ditandatangani oleh Pimpinan KPK, Nawawi Pomolango. Tembusan surat disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, serta Kepala BPKP.
Melalui penegasan ini, KPK berharap para legislator daerah kembali pada koridor hukum dan etika publik, serta menghentikan praktik-praktik transaksional dalam penganggaran.
KPK menegaskan, pokir bukan alat dagang proyek, melainkan amanat undang-undang untuk kepentingan rakyat.
Laporan: Redaksi KabarGEMPAR.com
