Dugaan Pungutan Dibantah, Anomali Data Siswa di SMPN 2 Plered Menguat, Transparansi Sekolah Dipertanyakan

Gedung Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 (SMPN 2) Plered, Purwakarta Jawa Barat.

PURWAKARTA | KabarGEMPAR.com – Dugaan pungutan rutin dan praktik penjualan seragam di SMP Negeri 2 Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, semakin menguat dan memantik sorotan publik. Persoalan ini tak hanya menyentuh keluhan orang tua siswa, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan sekolah negeri terhadap regulasi pendidikan yang berlaku.

Berdasarkan data resmi yang tercantum dalam sistem nasional Dapodik, SMP Negeri 2 Plered berstatus sekolah negeri dengan akreditasi A, dipimpin oleh kepala sekolah Neni Suantini. Sekolah ini tercatat memiliki 519 siswa, didukung oleh 25 guru dan tenaga kependidikan, dengan rasio guru dan murid 1:21. Data tersebut menunjukkan bahwa sekolah ini berada dalam kondisi ideal secara sumber daya manusia dan tidak dapat dikategorikan sebagai sekolah dengan keterbatasan pendanaan.

Namun, data resmi tersebut justru berseberangan dengan pernyataan kepala sekolah. Kepsek menyebut jumlah siswa hanya 514 orang, berbeda dengan angka 519 siswa yang tercatat di Dapodik.

“Jumlah siswa yang benar 514, bukan 519” kata Kepsek, Senin (22/12/2025).

Selisih ini menimbulkan anomali yang patut dipertanyakan, mengingat data Dapodik menjadi dasar utama dalam penetapan kebijakan pendidikan, termasuk perhitungan dan penyaluran Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Ketidaksinkronan data ini memicu pertanyaan publik: apakah terjadi kesalahan administrasi, atau ada persoalan lain yang belum dijelaskan secara terbuka?

Di sisi lain, sejumlah orang tua siswa mengeluhkan adanya dugaan pungutan rutin berupa iuran kas kelas yang dirasakan menjadi beban ekonomi bagi wali murid.

Menanggapi hal tersebut, kepala sekolah membantah adanya pungutan wajib. Ia menyatakan bahwa tidak ada pungutan rutin, melainkan hanya Infak, Gerakan Seribu Rupiah” (GASIBU), yang diklaim bersifat sukarela. Namun demikian, orang tua siswa menilai praktik tersebut tetap terasa sebagai kewajiban karena dilakukan secara berkala dan terorganisir di lingkungan kelas.

Padahal, larangan pungutan di sekolah negeri telah diatur secara tegas. Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 ditegaskan bahwa satuan pendidikan dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/wali. Sumbangan hanya diperbolehkan jika bersifat sukarela, tidak ditentukan jumlah maupun waktunya, serta tidak menjadi syarat memperoleh layanan pendidikan. Praktik yang menyerupai kewajiban, meskipun dibungkus istilah lain, tetap berpotensi melanggar aturan.

Lebih jauh, isu dugaan penjualan seragam juga mencuat. Namun hingga berita ini diturunkan, pihak sekolah belum memberikan penjelasan. Kepala sekolah memilih bungkam saat dikonfirmasi terkait mekanisme pengadaan dan penjualan seragam. Sikap ini justru memperkuat kecurigaan publik, mengingat praktik jual beli seragam oleh sekolah negeri kerap bertentangan dengan prinsip pelayanan pendidikan yang bebas pungutan dan berkeadilan.

Dengan status sekolah negeri, akreditasi A, jumlah siswa besar, serta rasio guru-murid yang ideal, publik menilai tidak ada alasan pembenaran bagi munculnya pungutan terselubung. Oleh karena itu, masyarakat mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta dan pihak pengawas terkait untuk turun tangan melakukan klarifikasi, audit, serta memastikan seluruh pengelolaan sekolah berjalan sesuai ketentuan hukum.

Redaksi KabarGEMPAR.com akan terus menelusuri dan memantau perkembangan persoalan ini, serta membuka ruang hak jawab bagi pihak sekolah dan instansi terkait demi menjamin transparansi dan kepentingan publik.

Reporter: Heri Juhaeri
Editor: Redaksi KabarGEMPAR.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *